Hai sobat perkenalkan nama saya Alesha, pada edisi kali ini jadi saya akan berbagi
cerita pendek yang berjudul "Kemenangan yang Dinanti". Yuk langsung
saja, jangan lupa dibaca sampai akhir ya, cekidooot!
Sekolah kami tercinta, SD
Muhammadiyah Palur mengadakan Lomba Ketertiban Upacara yang dilaksanakan setiap
hari senin dan diikuti oleh semua siswa ketika kegiatan upacara di halaman
sekolah. Bagi kelas yang menang, akan mendapat piala bergilir dan bendera
prestasi. Pagi itu adalah hari Senin yang cerah di SD Muhammadiyah Palur, angin
sepoi-sepoi mengibarkan bendera merah putih di halaman sekolah, tetapi suasana
di Kelas 4D sangatlah berbeda, wajah para anak kelas 4D sangat lesu. Lomba ketertiban Upacara ini selalu menjadi
mimpi buruk bagi mereka.
"Lagi-lagi kita kalah!" keluh Rara sambil menendang kerikil di halaman sekolah. "Kelas 4C selalu menang karena punya Dafa yang suaranya keras," sahut Adi cemberut. "Dan kita? Kita punya Haikal yang suka garuk-garuk kepala saat upacara!" sergah Zalfa. Di sudut kelas, Haikal menunduk malu. Memang, dialah yang sering membuat poin kelas berkurang karena tidak bisa diam.
Ini adalah
minggu kedua belas bagi kelas 4D sudah gagal memenangkan Lomba Ketertiban
Upacara. "Kalian harus lebih disiplin!" tegur Pak Ahmad, guru
olahraga, saat melihat barisan mereka yang berantakan. Di barisan belakang,
Haikal terus menggeser-geser posisi kakinya yang gatal, sementara Rara di depan
tak bisa menyembunyikan wajah kecewanya. Usai upacara, Bu Lina mengumpulkan
kelas 4D di ruangannya. "Anak-anak, apa kalian tahu kenapa kita selalu
kalah?" tanyanya lembut. Ruangan senyap sampai akhirnya Adi berbisik,
"Karena kita tidak bisa diam seperti kelas lain, Bu." Bu Lina
mengangguk, lalu mengeluarkan album foto lama. "Lihat, ini foto upacara
zaman Ibu kecil dulu. Tidak ada lomba, tapi semua anak berdiri khidmat karena
mengingat jasa pahlawan." Keesokan harinya, Bu Lina mengajak mereka ke
museum mini di sekolah. "Setiap kalian ingin bergerak, ingatlah panasnya
matahari yang dirasakan Bung Tomo saat pertempuran," ujarnya sambil
menunjukkan diorama Surabaya 1945. Latihan pun berubah total - bukan lagi
tentang menang kalah, tapi tentang menghormati perjuangan.
Hari lomba tiba dengan kejutan. Saat pembacaan UUD, tiba-tiba sound system mati. Panik melanda peserta lain, tapi kelas 4D tetap tenang. Haikal yang biasanya gelisah malah berdiri paling tegak, matanya menerawang mengingat cerita Bu Lina tentang pejuang yang bertahan tanpa suara. Rara memimpin teman-temannya menyanyikan Indonesia Raya tanpa musik, suaranya jernih membahana. Bahkan ketika bendera sedikit tersangkut saat pengibaran, tak satu pun dari mereka menoleh - semua mata tetap fokus ke depan dengan air mata kebanggaan. Kepala sekolah yang menyaksikan dari podium perlahan mengangguk-angguk, sambil memperhatikan bagaimana seragam lengkap mereka yang rapi berpadu dengan sikap sempurna.
Ketika pengumuman pemenang dibacakan, seluruh sekolah terperangah mendengar nama 4D disebut sebagai juara. Bukan karena mereka paling sempurna, tapi karena ketulusan mereka menyentuh hati para juri. Piala bergilir yang selama ini selalu berpindah ke kelas lain akhirnya berdiri megah di rak kelas 4D, ditemani foto mereka saat upacara dengan latar masjid sekolah yang megah. Di sudut foto, terlihat Haikal tersenyum bangga memegang bendera kecil - bukti bahwa disiplin sejati lahir dari pemahaman, bukan paksaan. Kini setiap Senin pagi, ketika adzan subuh masih menggema di sekitar Palur,semua murid kelas 4D dari rumah masing - masing sudah bersiap dengan hikmat bukan untuk lomba, tapi untuk mengingat arti merah putih yang berkibar di antara azan dan gemercik air wudhu.