IKLAN

Kemenangan yang Dinanti

Oleh : Alesha Ramadhani – Siswi Kelas 5A
Serial Cerpen (Majalah Tsiqoh Edisi 20)

Hai sobat perkenalkan nama saya Alesha, pada edisi kali ini jadi saya akan berbagi cerita pendek yang berjudul "Kemenangan yang Dinanti". Yuk langsung saja, jangan lupa dibaca sampai akhir ya, cekidooot!

Sekolah kami tercinta, SD Muhammadiyah Palur mengadakan Lomba Ketertiban Upacara yang dilaksanakan setiap hari senin dan diikuti oleh semua siswa ketika kegiatan upacara di halaman sekolah. Bagi kelas yang menang, akan mendapat piala bergilir dan bendera prestasi. Pagi itu adalah hari Senin yang cerah di SD Muhammadiyah Palur, angin sepoi-sepoi mengibarkan bendera merah putih di halaman sekolah, tetapi suasana di Kelas 4D sangatlah berbeda, wajah para anak kelas 4D sangat lesu.  Lomba ketertiban Upacara ini selalu menjadi mimpi buruk bagi mereka. 

"Lagi-lagi kita kalah!" keluh Rara sambil menendang kerikil di halaman sekolah. "Kelas 4C selalu menang karena punya Dafa yang suaranya keras," sahut Adi cemberut.  "Dan kita? Kita punya Haikal yang suka garuk-garuk kepala saat upacara!" sergah Zalfa. Di sudut kelas, Haikal menunduk malu. Memang, dialah yang sering membuat poin kelas berkurang karena tidak bisa diam.

Ini adalah minggu kedua belas bagi kelas 4D sudah gagal memenangkan Lomba Ketertiban Upacara. "Kalian harus lebih disiplin!" tegur Pak Ahmad, guru olahraga, saat melihat barisan mereka yang berantakan. Di barisan belakang, Haikal terus menggeser-geser posisi kakinya yang gatal, sementara Rara di depan tak bisa menyembunyikan wajah kecewanya. Usai upacara, Bu Lina mengumpulkan kelas 4D di ruangannya. "Anak-anak, apa kalian tahu kenapa kita selalu kalah?" tanyanya lembut. Ruangan senyap sampai akhirnya Adi berbisik, "Karena kita tidak bisa diam seperti kelas lain, Bu." Bu Lina mengangguk, lalu mengeluarkan album foto lama. "Lihat, ini foto upacara zaman Ibu kecil dulu. Tidak ada lomba, tapi semua anak berdiri khidmat karena mengingat jasa pahlawan." Keesokan harinya, Bu Lina mengajak mereka ke museum mini di sekolah. "Setiap kalian ingin bergerak, ingatlah panasnya matahari yang dirasakan Bung Tomo saat pertempuran," ujarnya sambil menunjukkan diorama Surabaya 1945. Latihan pun berubah total - bukan lagi tentang menang kalah, tapi tentang menghormati perjuangan. 

Hari lomba tiba dengan kejutan. Saat pembacaan UUD, tiba-tiba sound system mati. Panik melanda peserta lain, tapi kelas 4D tetap tenang. Haikal yang biasanya gelisah malah berdiri paling tegak, matanya menerawang mengingat cerita Bu Lina tentang pejuang yang bertahan tanpa suara. Rara memimpin teman-temannya menyanyikan Indonesia Raya tanpa musik, suaranya jernih membahana. Bahkan ketika bendera sedikit tersangkut saat pengibaran, tak satu pun dari mereka menoleh - semua mata tetap fokus ke depan dengan air mata kebanggaan. Kepala sekolah yang menyaksikan dari podium perlahan mengangguk-angguk, sambil memperhatikan bagaimana seragam lengkap mereka yang rapi berpadu dengan sikap sempurna. 

Ketika pengumuman pemenang dibacakan, seluruh sekolah terperangah mendengar nama 4D disebut sebagai juara. Bukan karena mereka paling sempurna, tapi karena ketulusan mereka menyentuh hati para juri. Piala bergilir yang selama ini selalu berpindah ke kelas lain akhirnya berdiri megah di rak kelas 4D, ditemani foto mereka saat upacara dengan latar masjid sekolah yang megah. Di sudut foto, terlihat Haikal tersenyum bangga memegang bendera kecil - bukti bahwa disiplin sejati lahir dari pemahaman, bukan paksaan. Kini setiap Senin pagi, ketika adzan subuh masih menggema di sekitar Palur,semua murid kelas 4D dari rumah masing - masing sudah bersiap dengan hikmat bukan untuk lomba, tapi untuk mengingat arti merah putih yang berkibar di antara azan dan gemercik air wudhu.

#Sekolah
SHARE :
IKLAN
LINK TERKAIT